|
Tugu Batee Kureung, Simbol Kota Juang, Bireuen |
“Walau hanya seminggu, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga setelah Yogyakarta dan Bukittinggi jatuh ke tangan penjajah dalam agresi kedua Belanda. Namun sayangnya fakta sejarah itu tidak pernah tercatat dalam sejarah Kemerdekaan RI. Sebuah benang merah sejarah yang terputus…”
Sekilas, tidak ada yang terlalu istimewa di Pendopo Bupati Kabupaten Bireuen tersebut. Hanya sebuah bangunan semi permanen yang berarsitektur rumah adat Aceh. Namun siapa duga, dibalik bangunan tua itu tersimpan sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Malah,di sana pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno.
Kedatangan presiden pertama RI itu ke Bireuen memang sangat fenomenal. Waktu itu, tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta. Dalam waktu sekejap ibukota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden pertama Soekarno yang ketika itu berdomisili dan mengendalikan pemerintahan di sana pun harus kalang kabut. Tidak ada pilihan lain, presiden Soekarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh. Tepatnya di Bireuen,yang relatif aman. Soekarno hijrah ke Bireuen dengan menumpang pesawat udara Dakota. Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu, mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.
Kedatangan rombongan presiden di sambut Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat (SR) juga ikut menyambut kedatangan presiden sekaligus PanglimaTertinggi Militer itu.
Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan Leising (rapat umum) akbar. Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Kepresidenan Bireuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu. Masyarakat Bireuen sangat bangga dan berbahagia sekali dapat bertemu muka dan mendengar langsung pidato presiden Soekarno tentang agresi Belanda 1947-1948 yang telah menguasai kembali Sumatera Timur(Sumatera Utara) sekarang.
Bireuen Pasca Kemerdekaan RI
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh Utara disebut Luhak, yang dikepalai oleh Kepala Luhak sampai tahun 1949. Kemudian, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur, Aceh dan Sumatera Utara tergabung didalamnya dalam Provinsi Sumatera Utara. Kemudian melalui Undang-Undang Darurat nomor 7 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom setingkat kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, maka dibentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara.
Keberadaan Aceh dibawah Provinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas masyarakat Aceh. Para tokoh Aceh menuntut agar Aceh berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi. Hal ini juga yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru padam setelah keluarnya Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1957 tentang pembentukan Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Aceh Utara sebagai salah satu daerah Tingkat dua, Bireuen masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara.
Konon Pada Saat itu Presiden Soekarno sempat foto bersama di depan rumah Panglima Divisi X dengan Gubernur Militer Aceh Tgk. Daud Beureueh, Panglima Divisi X Kolonel Hussein Joesoef dan sejumlah perwira Divisi X Komandemen Sumatera 16 Juni 1948. Masa itu pusat kemiliteran Aceh Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo di bawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berdudukan di Bireuen dengan markas persenjataan militer dipusatkan di Juli Keude Dua, tiga setengah kilometer jaraknya dari Kota Bireuen. Mayor Purn M Yusuf Ahmad, 88, veteran pejuang angkatan '45 warga Juli Keude Dua, salah seorang saksi hidup dan mantan Komandan Pasukan Tank Divisi X di Medan Area dalam Sebuah Cacatan Singkat mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa pahlawannya.
Peringatan 63 tahun Indonesia Merdeka di Bireuen terkesan sebagai ceremoni belaka. Pasalnya, tak pernah menziarahi makam pahlawan walaupun Bireuen belum memiliki Taman Makam Pahlawan (TMP). Dikatakan, para pejuang yang gugur dalam pertempuran di Medan Area masa itu jenazahnya tak mungkin dibawa pulang ke Bireuen. Ada yang dimakamkan di TMP Binjai ada pula yang dimakamkan di TMP Langsa, Aceh Timur. Para pejuang yang dimakamkan di TMP Langsa yang masih diingat, Geuchiek Mahmud Juli Blang Keutumba, Tgk. M. Yusuf Arifin, ujar Mayor Purn Yusuf Ahmad. Sedangkan Panglima Divisi X Kolonel Hussein Joesoef yang berjasa dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, meninggal karena sakit lanjut usia tahun 1976 dimakamkan di Desa Glumpang Payong, Kecamatan Jeumpa, berdampingan dengan istrinya Letda Puen Ummi Salmah. Menurut M. Yusuf Ahmad lokasi pemakaman Panglima Husein Joeosoef sebaiknya dijadikan sebagai lokasi TMP 'Kota Juang' Bireuen, agar setiap peringatan hari Proklamasi dapat diziarahi oleh generasi penerusnya .
Bireuen Kota Juang
Daerah pecahan Aceh Utara ini juga dikenal sebagai kota juang. Beragam kisah heroik terekam dalam catatan sejarah. Benteng pertahanan di Batee Iliek merupakan daerah terakhir yang diserang Belanda yang menyisakan kisah kepahlawanan pejuang Aceh dalam menghadapi Belanda. Kisah heroik lainnya, ada di kubu syahid lapan di Kecamatan Simpang Mamplam. Pelintas jalan Medan-Banda Aceh, sering menyinggahi tempat ini untuk ziarah. Di kuburan itu, delapan syuhada dikuburkan. Mereka Syahid pada tahun 1902 saat melawan pasukan Marsose, Belanda. Kala itu delapan syuhada tersebut berhasil menewaskan pasukan Marsose yang berjumlah 24 orang. Namun, ketika mereka mengumpulkan senjata dari tentara Belanda yang tewas itu, mereka diserang oleh pasukan Belanda lainnya yang datang dari arah Jeunieb. Kedelapan pejuang itu pun syahid. Mereka adalah : Tgk Panglima Prang Rayeuk Djurong Bindje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Bale Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Sjech Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, serta Nyak Ben Matang Salem Blang Teumeuleuk. Makam delapan syuhada ini terletak di pinggir jalan Medan – Banda Aceh, kawasan Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam. Makam itu dikenal sebagai kubu syuhada lapan.