CARA MEMBUKA PASSWORD PROTECT SHEET EXCEL


1. File excel yang sheet-nya di protect biasanya tidak bisa di edit sama sekali, semua click seolah tidak berfungsi, pada tab “review” coba anda cek, apabila ada icon file excel bertuliskan unprotect sheet, itu tandanya sheet tersebut di proteksi oleh empunya atau proteksi dalam keadaan aktif.

2. Untuk memasukan script VBA lihat bagian sebelah bawah kiri pada tab sheet yang di protect, klik kanan dan pilih “view code” akan terbuka jendela baru secara otomatis (Microsoft visual basic), atau bisa juga dengan cara menekan tombol kombinasi “Alt + F11″ di lanjutkan klik insert/module, apabila di bagian tengah sudah muncul jendela baru/module berarti langkah anda sudah benar cara membuka password excel sheet.

Code VBA membuka password excel sheet
3. Selanjutnya cara cara membuka password excel sheet Pada jendela module, copy pastekan kode berikut ini (copy dan paste mulai dari ” Sub InternalPasswords()” sampai dengan “end sub”) :

Copy dan paste code berikut ini

Sub InternalPasswords()

Dim i As Integer, j As Integer, k As Integer

Dim l As Integer, m As Integer, n As Integer

Dim i1 As Integer, i2 As Integer, i3 As Integer

Dim i4 As Integer, i5 As Integer, i6 As Integer

On Error Resume Next

For i = 65 To 66: For j = 65 To 66: For k = 65 To 66

For l = 65 To 66: For m = 65 To 66: For i1 = 65 To 66

For i2 = 65 To 66: For i3 = 65 To 66: For i4 = 65 To 66

For i5 = 65 To 66: For i6 = 65 To 66: For n = 32 To 126

ActiveWorkbook.Unprotect Chr(i) & Chr(j) & Chr(k) & _

Chr(l) & Chr(m) & Chr(i1) & Chr(i2) & Chr(i3) _

& Chr(i4) & Chr(i5) & Chr(i6) & Chr(n)

ActiveSheet.Unprotect Chr(i) & Chr(j) & Chr(k) & _

Chr(l) & Chr(m) & Chr(i1) & Chr(i2) & Chr(i3) _

& Chr(i4) & Chr(i5) & Chr(i6) & Chr(n)

If ActiveWorkbook.ProtectStructure = False Then

If ActiveWorkbook.ProtectWindows = False Then

If ActiveSheet.ProtectContents = False Then

Exit Sub

End If

End If

End If

Next: Next: Next: Next: Next: Next

Next: Next: Next: Next: Next: Next

End Sub
4. Membuka password excel sheet selanjutnya Lihat bagian kiri atas lembar kerja, highlight atau klik pada sheet yang akan kita buka proteksinya.
5. Klik tab Tool/Macros/Internal Password/run
6. Tunggu beberapa saat dan klick icon Microsoft Excel di pojok kiri atas atau “Alt + F11″ untuk kembali ke lembar kerja, kini file excel yang di proteksi tersebut sudah bisa di edit sesuka hati anda ! lihat juga pada tab “review” kini icon sheet sudah bertuliskan protect sheet sebagai tanda sudah tidak di protect lagi.

PEKAN KEBUDAYAAN ACEH (PKA) - 6 TAHUN 2013


Sejak dahulu Aceh telah memiliki keistimewaan dalam agama, pendidikan, adat istiadat serta peran ulama yang memperkokoh jati diri bangsa Indonesia. Kebudayaan ini tentunya sangat penting dalam membentuk kepribadian daerah dan juga memberikan corak kehidupan bermasyarakat dalam kesatuan sosial yang lebih besar.

Namun yang terjadi akhir-akhir ini masyarakat Aceh mulai melupakan adat dan budaya sehingga terjadinya degradasi pemahaman nilai budaya dan adat istiadat Aceh.

Adanya pengaruh budaya global ternyata juga berdampak negatif dan mempengaruhi terhadap pengembangan kebudayaan daerah dan bangsa. Untuk itu dengan keberadaan dan kelestarian budaya daerah menjadi sangat penting sebagai penyaring dalam menyerap kebudayaan asing.

Maka dari itu dengan hadirnya pekan kebudayaan Aceh ke-6 bertujuan untuk kembali membentuk kepribadian masyarakat yang lebih berbudaya dan juga untuk menumbuhkan pemahaman, pengamatan, dan pelestarian nilai budaya daerah yang lebih luhur dan beradab untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai agama. Selain itu bermaksud agar meningkatnya peran serta apresiasi masyarakat dalam mengaktualisasi nilai-nilai budaya yang islami sehingga menumbuhkembangkan minat dan kreatifitas seniman dan budayawan Aceh untuk memperkokoh kedamaian abadi di Aceh. Dan juga yang tidak kalah penting yaitu PKA-6 sebagai ajang mempromosikan adat budaya, produk budaya serta pariwisata Aceh sehingga menjadi perekat keragaman budaya bagi masyarakat Aceh.

Sasaran yang ingin dituju pada PKA ke-6 yaitu adanya peningkatan peran serta masyarakat dalam menjaga, mengembangkan dan melestarikan budaya daerah sehingga mantapnya budaya daerah sebagai saringan untuk budaya luar yang masuk ke Aceh yang tidak sesuai. Tidak hanya tumbuhnya motivasi sebagai daya cipta seniman/budayawan serta masyarakat namun juga menguatnya perhatian pemerintah dalam pengembangan kebudayaan Aceh sehingga meningkatnya arus kunjungan Wisatawan Nusantara dan Mancanegara dalam menyukseskan Visit Aceh 2013.

Target yang ingin dicapai semakin berkembangnya budaya Islam dan sejumlah karya budaya termasuk juga meningkatnys peran serta dan apresiasi masyarakat dalam melestarikan kebudayaan sehingga semakin berkembang aktifitas para budayawan, seniman, pariwisata untuk meningkatkan kesejahteraan sehingga semakin dirasakan bahwa budaya sebagai penyejuk dalam kehidupan.

Pekan Kebudayaan Aceh ke-6 akan dilaksanakan mulai 20-29 September 2013 dengan skala nasional dan internasional yang diselenggarakan oleh pemerintah. PKA ke-6 tidak hanya diikuti oleh 23 Kabupaten/Kota di seluruh Aceh, namun juga beberapa provinsi di Indonesia dan juga Negara-negara sahabat.

WAKTU SHOLAT DAN BATAS WAKTU SHALAT





Waktu-waktu Shalat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78)

Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248)

Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan pada waktunya maka ini merupakan musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti yang dikisahkan Az-Zuhri rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat anda menangis?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no. 530)

Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq1. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّنِي جِبْرِيْلُ عليه السلام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali2. Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka3. Ia shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa4. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku dan mengisfar5kannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada6.” (HR. Abu Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)

Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami akan memulai dari shalat subuh terlebih dahulu walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat zhuhur. Wallahul muwaffiq ‘ilash shawab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab Hambali) seperti Al-Khiraqi dan Al-Qadhi pada sebagian kitabnya serta selain keduanya, memulai dari waktu shalat zhuhur. Di antara mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/subuh seperti Abu Musa, Abul Khaththab, dan Al-Qadhi pada satu pembahasan, dan ini yang lebih bagus karena shalat wustha (shalat pertengahan) adalah shalat ashar. Shalat ashar bisa menjadi shalat wustha apabila shalat fajar merupakan shalat yang awal7.” (Al-Ikhtiyarat dalam Al-Fatawa Al-Kubra, 1/45)
1 Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat setelah matahari tenggelam.
2 Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
3 Yaitu saat matahari tenggelam dan masuk waktu malam dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari.
4 Awal terbitnya fajar yang kedua berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam dari fajar (jelas terbitnya fajar).”
5 Lihat keterangan tentang isfar dalam pembahasan waktu shalat fajar yang akan datang setelahnya.
6 Dengan demikian boleh mengerjakan shalat di awal waktunya, di pertengahan dan di akhir waktu. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
7 Sehingga bila diurutkan menjadi sebagai berikut:
Shalat pertama: shalat fajar, kedua: shalat zhuhur, ketiga: shalat ashar, keempat: shalat maghrib, kelima: shalat isya.
Dengan demikian shalat ashar jatuh pada pertengahan, sehingga diistilahkan shalat wustha.

Shalat Fajar atau Shalat Subuh
Shalat subuh ini memiliki dua nama yaitu fajar dan subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat fajar sedangkan As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama fajar dan di tempat lain disebutkan dengan nama subuh. (Al-Majmu’, 3/48)
Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 1455)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya bersegera dalam mengerjakan shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74)
Demikian pula yang dikatakan Al-Imam Nawawi rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang berpendapat bahwa isfar (waktu sudah terang) lebih utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas lebih afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2 rahimahumullah. Juga diriwayatkan dari Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz apa yang menunjukkan hal tersebut. Ibnu Abdil Bar rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa mereka semuanya mengerjakan shalat subuh di waktu ghalas. Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan yang afdhal dan melakukan yang tidak afdhal, sementara mereka adalah orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-perkara yang afdhal. 

Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama adalah melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di waktu isfar maka yang afdal mengerjakannya di waktu isfar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan yang seperti ini dengan melihat berkumpulnya jamaah dalam penunaian shalat isya, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu. Sehingga demikian pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-Tsauri dan ashabur ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْفِرُوْا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih memperbesar pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li Shalatish Shubhi)4

Adapun hadits asfiru bil fajri di atas maknanya/tafsirnya adalah “Hendaklah kalian selesai dari mengerjakan shalat fajar pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih besar pahalanya).” Bukan awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan memanjangkan bacaan dalam shalat ini. Bukan perintah untuk mengerjakan shalat subuh di waktu isfar. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah selesai dari shalat fajar ini pada waktu isfar (hari sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali wajah teman duduknya. Sebagaimana kata Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah mengenali siapa yang duduk di sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1460)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits di atas memang harus, mau tidak mau, ditafsirkan/dimaknakan seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencocoki perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa masuk ke dalam penunaian shalat subuh di waktu ghalas sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lamul Muwaqqi’in. Dan yang mendahului Ibnul Qayyim dalam pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-Thahawi dari kalangan Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal ini (1/104-109). Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.” Walaupun apa yang dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini menyelisihi pendapat yang masyhur dari mazhab mereka dalam kitab-kitab mazhab yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat subuh di waktu isfar.” (Ats-Tsamarul Mustathab, 1/81)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan shalat fajar ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ، ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلاَتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ الْغَلَسَ حَتَّى مَاتَ لَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ
“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali lain beliau mengerjakannya di waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di waktu ghalas hingga beliau meninggal, beliau tidak pernah lagi mengulangi pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud no. 394, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Mendapati Satu Rakaat Fajar
Telah kita ketahui bahwa akhir waktu shalat fajar adalah ketika matahari terbit, sehingga keadaan seseorang yang baru mengerjakan satu rakaat fajar kemudian ketika hendak masuk pada rakaat kedua matahari terbit maka dia mendapati shalat subuh. Hal ini sebagamana ditunjukkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقدْ أدْرَكَ الْعَصْرَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka sungguh ia telah mendapatkan shalat subuh dan siapa yang mendapati satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan dalil yang sharih/jelas tentang orang yang telah mengerjakan satu rakaat subuh atau ashar kemudian keluar waktu kedua shalat tersebut sebelum orang itu mengucapkan salam (sebelum sempurna dari amalan shalatnya, pent.), maka ia tetap harus menyempurnakannya sampai selesai dan shalatnya pun sah. Dinukilkan adanya kesepakatan dalam penunaian shalat ashar. Adapun dalam shalat subuh ada perselisihan. Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan ulama seluruhnya berpendapat subuh juga demikian, menyelisihi Abu Hanifah yang mengatakan, ‘Shalat subuh yang sedang dikerjakannya batal dengan terbitnya matahari karena telah masuk waktu larangan mengerjakan shalat, beda halnya dengan tenggelamnya matahari.’ Namun hadits ini merupakan hujjah yang membantahnya.” (Al-Minhaj, 5/109)

Hukum di atas adalah bagi orang yang mengakhirkan waktu shalat sampai ke waktu yang sempit tersebut. Adapun bagi orang yang tertidur atau lupa maka tidak hilang baginya waktu shalat selama-lamanya walaupun telah keluar dari seluruh waktunya, selama memang ia tidak mengerjakannya karena tertidur atau karena lupa. Waktu mereka mengerjakannya adalah ketika ingat atau saat terbangun dari tidur.

Ketiduran dari mengerjakan shalat ini pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau dikarenakan kelelahan yang sangat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Sebagian orang yang ikut rombongan berkata, ‘Seandainya anda berhenti sebentar untuk beristirahat dengan kami, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Aku khawatir kalian akan ketiduran dari mengerjakan shalat.’ Bilal berkata, ‘Aku yang akan membangunkan kalian.’ Maka para sahabat yang lain pun berbaring tidur sedangkan Bilal menyandarkan punggungnya ke tunggangannya. Namun ternyata ia dikuasai oleh kantuk hingga tertidur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun sementara matahari telah terbit. Beliau pun bersabda, ‘Wahai Bilal, apa yang tadi engkau katakan? Katanya engkau yang membangunkan kami?’ Bilal menjawab, ‘Aku sama sekali belum pernah tertidur seperti tidurku kali ini.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِيْنَ شَاءَ، وَردَّهَا عَلَيْكُمْ حِيْنَ شَاءَ، يَا بِلاَلُ، قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ. فَتَوَضَّأَ، فَلَمَّا ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قاَمَ فَصَلَّى
Sesungguhnya Allah menahan ruh-ruh kalian kapan Dia inginkan dan Dia mengembalikannya pada kalian kapan Dia inginkan. Wahai Bilal! Bangkit lalu kumandangkan azan untuk memanggil manusia guna mengerjakan shalat.” Beliau lalu berwudhu, tatkala matahari telah meninggi dan memutih, beliau bangkit untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 595)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِيْءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الْأُخْرَى، فَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِيْنَ تَنَبَّهَ لَهَا
Sesungguhnya tertidur dari mengerjakan shalat bukanlah sikap tafrith (menyia-nyiakan). Hanyalah merupakan tafrith bila seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat yang lain (dalam keadaan ia terjaga dan tidak lupa). Maka siapa yang tertidur (atau lupa) sehingga belum mengerjakan shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika terjaga/ketika sadar/ingat.” (HR. Muslim no. 1560)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِيَ الصَّلاَةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، فَإِنَّ اللهَ قَالَ: أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِيْ
Siapa yang lupa dari mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat, karena Allah berfirman: ‘Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku’.”(HR. Muslim no. 1558)
1 Karena fajar ada dua, fajar pertama yang disebut fajar kadzib dan fajar kedua yang disebut fajar shadiq. Fajar shadiq ini muncul tersebar dalam keadaan melintang di ufuk.
2 Juga pendapat Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur, Al-Auza’i, Dawud bin ‘Ali, dan Abu Ja’far Ath-Thabari. (Nailul Authar, 1/466)
3 Lihat At-Tamhid, 1/141. 4 HR. At-Tirmidzi no. 154, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
5 Karena di zaman itu tidak ada penerangan lampu, sehingga mereka mengerjakan shalat subuh dalam keadaan gelap. Sampai-sampai seseorang tidak tahu siapa yang shalat di sebelahnya. Beda halnya dengan keadaan masjid-masjid di zaman sekarang yang selalu terang benderang dengan cahaya lampu.

Shalat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim no. 1403)
Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat Asy-Syafi’i rahimahullahu dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالظَّهَائِرِ، سَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ
Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di atas pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari no. 542 dan Muslim no. 1406)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah untuk ibrad (menunda shalat zhuhur sampai agak dingin, pent.), akan tetapi hal ini untuk menerangkan kebolehan shalat di waktu yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.” (Fathul Bari, 2/32)
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)

Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al­-Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)
Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk. (Al-Majmu’ 3/64)

Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?
Matahari telah zawal artinya matahari telah miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan seseorang/suatu benda di sebelah timur setelah sebelumnya bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui hal tersebut maka hendaknya ia mengukur bayangan matahari. Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah hari, saat matahari tepat di tengah-tengah langit, pengurangan bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah miring/bergeser dari tengah langit kembali bayangan muncul dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal pertama kali muncul di sisi timur itulah yang dinamakan waktu zawal. (Al-Ma’unah 1/196, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/367-368, Al-Majmu’ 3/28-29, Al-Mabsuth 1/133, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/133)

Akhir Waktu Zhuhur
Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Apakah bayangan zawal ikut digabungkan ke bayangan benda/sesuatu untuk menunjukkan keluarnya/habisnya waktu zhuhur dan telah masuknya waktu ashar, ataukah tidak digabungkan?
Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal 20 cm. Maka apakah keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu ashar dengan menambahkan tinggi seseorang dengan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga tinggi/panjang bayangan menjadi 185 cm, atau cukup tinggi/panjang bayangan 165 cm?

Al-Qarrafi rahimahullahu berkata, “Awal waktu ikhtiyari pada shalat zhuhur adalah pada saat zawal, dan ini berlangsung sampai panjang bayangan benda semisal dengan bendanya, (dihitung) setelah panjang bayangan benda ketika zawal.” (Adz-Dzakhirah 2/13)

Dikatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (1/208), “Waktu zhuhur selesai apabila bayangan seseorang sama dengan tingginya, selain bayangan yang tampak ketika zawal.”

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Awal waktu zhuhur saat matahari mulai tergelicir dan miring/condong (ke barat). Maka tidak halal sama sekali melakukan shalat zhuhur sebelum itu, dan bila dikerjakan maka shalat tersebut tidaklah mencukupi. Waktu shalat zhuhur terus berlangsung sampai bayangan segala sesuatu sama dengan bendanya tanpa memperhitungkan bayangan yang muncul saat awal zawalnya matahari, tetapi yang dihitung/dianggap adalah yang lebih dari bayangan zawal tersebut.” (Al-Muhalla, 2/197)

Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Akhir waktu zhuhur adalah bila bayangan segala sesuatu sama dengan tingginya, setelah menambahkan bayangan sesuatu tersebut dengan bayangan tatkala zawal/matahari tergelicir.” (Al-Kafi, 1/120)

Penulis Zadul Mustaqni’ menyebutkan, “Waktu zhuhur dari zawal sampai bayangan sesuatu sama dengan sesuatu tersebut setelah (ditambah) dengan bayangan zawal.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam syarahnya terhadap ucapan penulis tersebut mengatakan, “Di saat matahari terbit, sesuatu yang tinggi akan memiliki bayangan yang jatuh ke arah barat. Kemudian bayangan tersebut akan berkurang sesuai kadar tingginya matahari di ufuk. Demikian seterusnya hingga bayangan tersebut berhenti dari pengurangan. Tatkala bayangan tersebut berhenti dari pengurangan, kemudian bayangan itu bertambah walau hanya satu rambut maka itulah zawal dan dengannya masuklah waktu zhuhur. Ucapan penulis “setelah (ditambah) dengan bayangan zawal” maksudnya bayangan yang tampak saat matahari tergelincir (zawal) tidaklah terhitung. Pada waktu kita yang sekarang ini, tatkala matahari radhiyallahu ‘anhumaondong ke selatan maka bagi setiap sesuatu yang tinggi pasti memiliki bayangan yang selalu ada di arah utaranya. Bayangan ini tidaklah teranggap. Bila bayangan ini mulai bertambah maka letakkanlah tanda pada tempat awal penambahannya. Kemudian bila bayangan itu memanjang dari mulai tanda yang telah diberikan sampai setinggi (sepanjang) benda (sesuatu yang tinggi tersebut) berarti waktu zhuhur sudah berakhir dan telah masuk waktu ashar.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/102)

Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari beberapa kitab, di antaranya Al-Ma’unah (1/196), Mawahibul Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-Raudhul Murbi’ (1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat (1/133), Mughnil Muhtaj (1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14), Ad-Durarus Saniyyah (4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan, Tafsir Surah An Nisa` ayat 103, dan beberapa kitab yang lainnya.

5. Shalat Isya
Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya ketika pertengahan malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ الْلَيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 1696)

Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang Jibril mengimami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat lima waktu selama dua hari berturut-turut, disebutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَصَلىَّ بِي الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ
“…Dan Jibril shalat Isya denganku ketika tenggelamnya syafaq….” (HR. Abu Dawud no. 393, Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Selain itu, ada pula hadits lain yang menunjukkan akhir waktu isya adalah pertengahan malam. Seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى، ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
Seandainya tidak memberati umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya sampai sepertiga atau pertengahan malam.” (HR. At-Tirmidzi no. 167, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
صَلَّيْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعَتَمَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ، فَقَالَ: خُذُوْا مَقَاعِدَكُمْ. فَأَخَذْنَا مَقَاعِدَنَا فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلُّوا وَأَخَذُوْا مَضَاجِعَهُمْ، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوْا فِي صَلاَةٍ ماَ انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ ،وَلَوْلاَ ضَعْفُ الضَّعِيْفِ وَسَقْمُ السَّقِيْمِ لَأَخَّرْتُ هَذِهِ الصَّلاَةَ إِلىَ شَطْرِ اللَّيْلِ
Kami pernah hendak shalat isya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak keluar dari tempat tinggalnya (menuju ke masjid) hingga berlalu sekitar pertengahan malam. Beliau lalu berkata, “Tetaplah di tempat duduk kalian.” Kami pun menempati tempat duduk kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Sungguh saat seperti ini orang-orang telah selesai mengerjakan shalat isya dan telah menempati tempat berbaring (tempat tidur) mereka. Dan sungguh kalian terus menerus teranggap dalam keadaan shalat selama kalian menanti shalat. Seandainya bukan karena kelemahan orang yang lemah dan sakitnya orang yang sakit niscaya aku akan mengakhirkan shalat isya ini sampai pertengahan malam.” (HR. Abu Dawud no. 422, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Dalam Al-Qamus disebutkan, “Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq atau terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Berdasarkan hal ini kita mengetahui bahwa tengah malam itu diukur dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar. Pertengahan waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam sebagai akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam ini bukanlah waktu pelaksanaan shalat fardhu, tapi waktu untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah seperti tahajjud. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)

Apa yang Dimaksud dengan Syafaq?
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syafaq yang merupakan tanda habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya.

Mayoritas mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnush Shamit, dan Syaddad bin Aus g. Demikian pula pendapat Mak-hul dan Sufyan Ats-Tsauri. Ibnul Mundzir menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawud.

Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)

Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).”

Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.” (Al-Majmu’, 3/45)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan dengan syafaq adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi. (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (2/31): “Saya katakan, ‘Pembahasan ini adalah pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi rujukan dalam hal ini tentunya ahli bahasa (Arab), sementara Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab (mengerti bahasa Arab) yang murni, maka ucapannya merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya mauquf.”
Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di ufuk, dari tenggelamnya matahari sampai isya dan mendekati isya atau mendekati ‘atamah.

Disenangi Mengakhirkan Shalat Isya’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya, sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa hadits di atas, ditambah pula hadits berikut ini:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ: الصَّلاَةُ، نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ. قَالَ: وَلاَ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلاَّ بِالْمَدِيْنَةِ، وَكاَنُوْا يُصَلُّوْنَ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ
Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur2.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian3.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” (HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)

Juga hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:
أَبْقَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الْعَتَمَةِ، فَأَخَّرَ حَتَّى ظَنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِخَارِجٍ، وَالْقَائِلُ مِنَّا يَقُوْلُ: صَلَّى. فَإِنَّا لَكَذَلِكَ حَتَّى خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا لَهُ كَماَ قَالُوْا. فَقَالَ لَهُمْ: أَعْتِمُوْا بِهَذِهِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّكُمْ قَدْ فَضَّلْتُمْ بِهَا عَلَى سَائِرِ الْأُمَمِ وَلَمْ تُصَلِّهَا أُمَّةٌ قَبْلَكُمْ
Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengharuskan umatnya untuk terus mengerjakannya di akhir waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat isya berjamaah di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak. Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan terkadang mengakhirkannya. Bila beliau melihat para makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau mengerjakannya dengan segera. Namun bila belum berkumpul beliau pun mengakhirkannya.

Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ، كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدِ اجْتَمَعُوْا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَأُوْا أَخَّرَ …
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya….” (HR. Al-Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata, “Yang afdhal/utama bagi para wanita yang shalat di rumah-rumah mereka adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat isya, jika memang hal itu mudah dilakukan.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116)

Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama, mengakhirkan shalat isya sendirian atau melaksanakannya secara berjamaah walaupun di awal waktu?” Jawabannya, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, adalah shalat bersama jamaah lebih utama. Karena hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116, 117)

Keutamaan Menanti Pelaksanaan Shalat Isya
Siapa yang menanti ditegakkannya shalat isya secara berjamaah bersama imam, maka ia terhitung dalam keadaan shalat selama masa penantian tersebut. Hal ini dinyatakan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat penyebutannya di atas:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)

Dibenci Tidur Sebelum Isya dan Berbincang Setelahnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan berbincang-bincang setelahnya4. Dalam hal ini Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ الْعِشَاءَ، وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya. Dan beliau membenci tidur sebelum shalat isya dan berbincang -bincang setelahnya.” (HR. Ibnu Majah no. 701, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
جَدَبَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّمَرَ بَعْدَ الْعِشَاءِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kami dari berbincang-bincang setelah isya.” (HR. Ahmad 1/388-389, 410, Ibnu Majah no. 703, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2435)

At- Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi membenci tidur sebelum shalat isya dan ngobrol setelahnya. Sebagian mereka memberi keringanan dalam hal ini. Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata, ‘Kebanyakan hadits menunjukkan makruhnya’.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/110)

Larangan tidur sebelum isya ini ditujukan kepada orang yang dengan sengaja melakukannya. Adapun orang yang tidak kuasa menahan kantuknya sehingga jatuh tertidur, maka diberikan pengecualian. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dalam pembahasan disenanginya mengakhirkan shalat isya, tentang tertidurnya para wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya berjamaah di masjid, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari tidur mereka. (Fathul Bari, 2/66)

Demikian pula hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شُغِلَ عَنْهَا لَيْلَةً، فَأَخَّرَهَا حَتَّى رَقَدْنَا فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ غَيْرُكُمْ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُبَالِي أَقَدَّمَهَا أَوْ أَخََّرَهَا، إِذَا كَانَ لاَ يَخْشَى أَنْ يَغْلِبَهَا النَّوْمُ عَنْ وَقْتِهَا وَكَانَ يَرْقُدُ قَبْلَهَا
Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersibukkan dari mengerjakan shalat isya di awal waktu, maka beliau mengakhirkannya hingga kami tertidur di masjid kemudian kami terbangun, lalu kami tidur lagi kemudian terbangun. Lalu keluarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” Adalah Ibnu Umar tidak memedulikan apakah ia mendahulukan atau mengakhirkannya, apabila ia tidak khawatir tertidur pulas/nyenyak dari mengerjakannya pada waktunya. Adalah Ibnu Umar tidur sebelum shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 570)

Dalam riwayat Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, disebutkan bahwa terkadang Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tertidur sebelum mengerjakan shalat isya dan beliau memerintahkan orang untuk membangunkannya. (Fathul Bari, 2/68)

Ibnul ‘Arabi berkata, “Tidur sebelum shalat isya ini boleh bagi orang yang yakin bahwa ia biasanya terbangun sebelum habisnya waktu shalat isya atau bersamanya ada orang yang akan membangunkannya.” (Nailul Authar, 1/461)

Adapun tentang berbincang-bincang setelah shalat isya, maka yang dimaksudkan adalah obrolan yang sebenarnya mubah bila dilakukan di selain waktu ini. Bila suatu obrolan makruh diperbincangkan pada waktu lain selain setelah isya, tentunya lebih sangat lagi dimakruhkan bila dilakukan setelah isya. Sementara perbincangan yang memang dibutuhkan maka tidaklah dimakruhkan dilakukan setelah isya. Demikian pula berbicara tentang perkara kebaikan seperti membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diskusi ilmu, cerita tentang orang-orang shalih, berbincang dengan istri, tamu, dan semisalnya. (Al-Majmu’ 3/44, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/135)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Yang zahir dari sejumlah hadits yang datang dalam bab ini adalah dibencinya berbincang dan begadang (setelah shalat isya), kecuali dalam perkara mengandung kebaikan bagi orang yang berbicara atau kebaikan bagi kaum muslimin.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/75)

Ada beberapa hadits yang menunjukkan pengecualian dari kemakruhan tersebut:
1. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْمُرُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فِي الْأَمْرِ مِنْ أََمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَنَا مَعَهُمَا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang (setelah shalat isya) bersama Abu Bakr dalam satu perkara kaum muslimin, dan aku bersama keduanya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi no. 169, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

2. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةً كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ، قَالَ: فَتَحَدَّثَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bibi Ibnu ‘Abbas, pent.) pada suatu malam sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada (giliran bermalam, pent.) di rumah Maimunah. Aku sengaja bermalam untuk melihat bagaimana cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam. Kata Ibnu Abbas, “(Setelah shalat isya, pent.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan istrinya beberapa saat kemudian beliau tidur.” (HR. Muslim)

3. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Usaid bin Hudhair dan seorang laki-laki lain dari Anshar berbincang-bincang di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam untuk suatu urusan mereka berdua, hingga berlalu sesaat dari waktu malam. Sementara malam itu sangatlah gelap. Keduanya kemudian keluar dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke tempat mereka dan di tangan masing-masingnya ada tongkat. Maka tongkat salah satu dari keduanya bercahaya menerangi keduanya, hingga mereka berjalan dalam cahaya tongkat tersebut. Hingga ketika keduanya berpisah, menempuh jalan berbeda, tongkat yang satunya (yang semula tidak mengeluarkan cahaya, pent.) juga bercahaya. Maka masing-masing pun berjalan dalam cahaya tongkatnya hingga tiba di tempat keluarganya. (Diriwayatkan Ibnu Nashr dari Abdurrazzaq, kata Al-Imam Albani rahimahullahu, “Sanadnya shahih di atas syarat sittah.” Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/76)

4. Abu Sa’id, maula Anshar berkata, “Adalah Umar tidak membiarkan adanya orang yang berbicara setelah shalat isya. Beliau berkata, ‘Kembalilah kalian (jangan terus ngobrol setelah shalat isya. pent.), mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rizki kepada kalian dengan kalian bisa mengerjakan satu shalat, atau kalian bisa tahajjud.’ Lalu ‘Umar sampai ke tempat kami. Ketika itu aku sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b dan Abu Dzar. Umar bertanya, ‘Untuk apa kalian duduk di sini?’ Kami menjawab, ‘Kami ingin berdzikir kepada Allah.’ ‘Umar pun ikut duduk bersama mereka. (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi 2/391, Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/77)

Dibencinya Menamakan Isya dengan ‘Atamah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّهَا فِي كِتَابِ اللهِ الْعِشَاءُ وَإِنَّهَا تُعْتِمُ بِحِلاَبِ الْإِبِلِ
Jangan sekali-kali orang-orang A’rab (Badui) mengalahkan kalian dalam penamaan shalat isya kalian ini, karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia diakhirkan saat diperahnya unta.” (HR. Muslim no. 1454)

Dalam riwayat Ahmad disebutkan:
إِنَّمَا يَدْعُوْنَهَا الْعَتَمَةَ لِإِعْتَامِهِمْ بِالْإِبِلِ
“(Orang-orang A’rab) menyebut isya dengan atamah, karena mereka mengakhirkan pemerahan unta sampai malam sangat gelap (dan di saat itulah dilaksanakan shalat isya, pent.).” (Kata Al-Imam Albani rahimahullahu: “Sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)

Namun bila sekali-sekali maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang terdapat dalam Ash-Shahihain:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَةِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Seandainya mereka mengetahui keutamaan/pahala yang didapatkan dalam shalat subuh dan atamah (secara berjamaah di masjid, pent.) niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ada yang mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh (penghapus) hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula yang mengatakan sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah secara mutlak. Namun beliau hanya melarang bila sampai nama yang syar’i, yaitu isya, sampai ditinggalkan. Karena isya adalah nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama ‘atamah telah mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun terkadang ia disebut ‘atamah maka tidaklah apa-apa. Wallahu a’lam.

Dalam hadits ini ada penjagaan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap nama-nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan terhadap ibadah-ibadah yang ada. Sehingga nama tersebut tidak ditinggalkan, lalu nama yang tidak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala justru diutamakan, sebagaimana yang dilakukan orang-orang belakangan. Di mana mereka meninggalkan lafadz-lafadz nash dan lebih mengutamakan/mengedepankan istilah-istilah yang baru. Karena hal ini, terjadilah kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya.” (Zadul Ma’ad, 2/9)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena didapatkan riwayat mauquf dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau memaknakan syafaq dengan humrah, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni.
2 Wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya di masjid. ‘Umar menyeru demikian karena menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya karena lupa. (Al-Minhaj, 5/139)
3 Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa hal itu terjadi sebelum tersebarnya Islam di tengah manusia.
4 Ada yang mengatakan bahwa hikmah pelarangan berbincang setelah shalat isya adalah agar jangan sampai hal itu menjadi sebab seseorang meninggalkan qiyamul lail (shalat malam), atau ia tenggelam dalam obrolan kemudian tertidur pulas setelahnya hingga habis waktu shalat subuh. (Al-Majmu’ 3/44, Fathul Bari, 2/66)
5 Yaitu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah An-Nur ayat 58:
وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ

ALUR KEGIATAN PNPM-MP



Alur kegiatan PNPM-PPK meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian kegiatan. Sebelum memulai tahap perencanaan, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan orientasi atau pengenalan kondisi yang ada di desa dan kecamatan. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengenalan desa diantaranya adalah: (1) mengidentifikasi RTM di tingkat desa,; (2) inventarisasi kondisi kegiatan atau bangunan yang telah ada yang berkaitan langsung dengan tujuan PNPM-PPK ; (3) inventarisasi dokumen rencana pembangunan desa (tahunan atau jangka menengah) ; (4) inventarisasi data kependudukan, program selain PNPM-PPK yang akan masuk ke desa, dll.
3.1. Perencanaan Kegiatan

* 3.1.1. Musyawarah Antar Desa (MAD) Sosialisasi

Musyawarah antar desa sosialisasi merupakan forum pertemuan antar desa untuk sosialisasi tentang tujuan, prinsip, kebijakan, prosedur maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan PNPM-PPK serta untuk menentukan kesepakatan-kesepakatan antar desa dalam melaksanakan PNPM-PPK.

Hasil yang diharapkan dalam musyawarah antar desa sosialisasi adalah sebagai berikut :
o Dipahaminya informasi pokok PNPM-PPK meliputi tujuan, prinsip-prinsip, kebijakan, pendanaan, organisasi, proses dan prosedur yang dilakukan,
o Dipahaminya panduan pembentukan BKAD,
o Dipahaminya panduan pola pengaduan dan penanganan masalah,
o Dipahaminya panduan penyusunan RPJMDes dengan menggunakan pola MMDD,
o Disepakatinya waktu tahapan perencanaan,
o Disepakatinya jadwal kegiatan musyawarah desa sosialisasi dari tiap desa dan rencana pelaksanaan musyawarah antar desa prioritas usulan,
o Terbentuknya forum musyawarah antar desa meliputi terpilihnya pengurus forum, pokok-pokok kesepakatan dalam penyelenggaraan forum dan penetapan anggota tim perumus,
o Terbentuknya UPK dan Badan Pengawas UPK.

Peserta MAD Sosialisasi terdiri dari:
o Enam orang wakil per desa: Kepala desa, 2 orang wakil dari BPD/nama lain yang sejenis (jika sudah ada), dan 3 orang tokoh masyarakat (minimal 3 dari keenam wakil tersebut adalah perempuan dan masyarakat miskin) dari semua desa di kecamatan.
o Anggota masyarakat lainnya yang berminat untuk hadir.

* 3.1.2. Musyawarah Desa (Musdes) Sosialisasi

Musyawarah desa sosialisasi merupakan forum pertemuan masyarakat desa sebagai ajang sosialisasi atau penyebar luasan informasi PNPM-PPK di tingkat desa.
Hasil yang diharapkan dalam musyawarah desa sosialisasi adalah sebagai berikut:
o Tersosialisasinya informasi pokok PNPM-PPK meliputi : tujuan, prinsip-prinsip, kebijakan, pendanaan, organisasi, proses dan prosedur yang dilakukan kepada masyarakat desa,
o Tersosialisasinya keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah antar desa sosialisasi,
o Adanya pernyataan kesanggupan atau kesedian desa untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan PNPM-PPK,
o Terpilihnya Pengurus Tim Pengelola Kegiatan (TPK) terdiri dari; Ketua, Sekretaris, dan Bendahara,
o Ditetapkannya BPD (jika sudah terbentuk) atau terpilihnya Tim Monitoring Desa (jika belum terbentuk BPD) sebagai lembaga pengawas pelaksanaan PNPM-PPK di tingkat desa. Di samping itu, tetap perlu juga dibentuk tim monitoring masyarakat di lokasi-lokasi kegiatan seperti tim yang melakukan pengecekan kuantitas dan kualitas setiap barang yang datang ke lokasi (tim checkers),
o Dipilih dan ditetapkannya kader desa dan kader teknis yang akan memfasilitasi masyarakat dalam menyelenggarakan proses PNPM-PPK,
o Disepakati dan ditetapkannya jadwal musyawarah desa perencanaan,
o Disepakati pembuatan dan lokasi pemasangan papan informasi PNPM-PPK dan media informasi lainnya,
o Disetujuinya keikutsertaan desa dalam pembentukan BKAD yang tertuang dalam surat keputusan yang ditandatangani oleh BPD dan Kepala Desa,
o Disosialisasikannya pola pengaduan dan penanganan masalah.

Peserta Musdes Sosialisasi terdiri dari:
o Kepala desa dan aparat desa,
o Anggota Badan Permusyawaratan Desa,
o Tokoh masyarakat di desa,
o Unsur RTM,
o Sebanyak mungkin anggota masyarakat desa khususnya perempuan.

* 3.1.3. Pelatihan Pelaku Tingkat Desa

Pelaku tingkat desa, seperti: kader desa, kader teknik dan TPK yang telah terpilih dalam musyawarah desa sosialisasi, selanjutnya akan memandu serangkaian tahapan kegiatan PNPM-PPK yang diawali dengan proses penggalian gagasan di tingkat dusun dan kelompok masyarakat. Sebelum melakukan tugasnya, pelaku tingkat desa akan mendapat pelatihan terlebih dahulu. Hasil yang diharapkan dalam pelatihan pelaku tingkat desa adalah:
o Dipahaminya latar belakang, tujuan, prinsip, kebijakan dan tahapan atau mekanisme PNPM-PPK,
o Dipahaminya peran dan tugas masing-masing,
o Bertambahnya keterampilan melakukan teknik-teknik fasilitasi pertemuan masyarakat dalam tahapan kegiatan PNPM-PPK, termasuk perencanaan desa secara partisipatif,
o Bertambahnya keterampilan memberikan pendampingan dan pembimbingan kepada masyarakat agar mampu mengelola PNPM-PPK secara mandiri,
o Bertambahnya kemampuan administrasi dan pelaporan yang diperlukan,
o Pelaku tingkat desa mampu menyusun dan mempunyai rencana kerja untuk melakukan peran dan tugasnya,
o Dipahaminya instrumen pemetaan RTM basis dusun secara partisipatif pada desanya masing-masing,
o Dipahaminya pola pengaduan dan penanganan masalah.

* 3.1.4. Penggalian Gagasan

Tahap awal dari proses penggalian gagasan adalah mengadakan pertemuan di tingkat dusun untuk membuat peta sosial kemiskinan bersama-sama dengan warga dusun setempat. Metode atau teknik yang digunakan dalam pembuatan peta sosial dalam pertemuan dusun sebagai berikut :
o a. Penyusunan Peta Sosial :

Tujuan penyusunan peta sosial adalah:
+ Mengidentifikasi potensi dan masalah yang ada di dusun untuk menghasilkan gagasan untuk peningkatan kesejahteraan RTM.
+ Membuat pemetaan RTM partisipatif dengan cara;
# Menentukan kriteria RTM
# Mengidentifikasi RTM sesuai dengan kriteria

Pemetaan RTM Partisipatif adalah identifikasi jumlah dan lokasi RTM basis dusun pada masing-masing desa dalam wilayah PNPM-PPK. Tujuan dari pemetaan ini untuk mendapatkan gambaran yang mendekati kenyataan tentang kelompok sasaran program. Pemetaan ini juga bermanfaat untuk digunakan sebagai aspek penilaian yang dominan dalam menentukan kelayakan suatu usulan oleh team verifikasi usulan, oleh karena itu instrumen ini mulai digunakan saat penggalian gagasan/mulai penyusunan peta sosial. Kegiatan ini dilakukan oleh pelaku tingkat desa/kader desa di bawah supervisi FK.
+ Hasil penyusunan peta sosial dipakai untuk menentukan usulan ditingkat desa, sebagai alat verifikasi dalam MAD.

o b. Musyawarah Penggalian Gagasan

Musyawarah penggalian gagasan adalan pertemuan kelompok masyarakat atau di dusun untuk menemukan gagasan-gagasan kegiatan yang menjadi prioritas kebutuhan RTM. Gagasan-gagasan yang disampaikan oleh masyarakat tidak sekedar gagasan kegiatan yang diajukan dalam rangka mendapatkan dana PNPM-PPK, tetapi lebih jauh lagi berupa gagasan-gagasan dalam kaitan langsung penanggulangan kemiskinan RTM, apa saja program jangka pendeknya, serta apa saja yang menjadi program jangka panjangnya. Kelompok yang dimaksud dalam proses penggalian gagasan adalah sekumpulan warga masyarakat (laki-laki, perempuan, atau campuran) yang tergabung dalam: (a).Ikatan kemasyarakatan yang berlatar belakang wilayah seperti; RT/ RW/ RK/ Dusun/ Kampung atau yang lainnya; (b). Kelompok–kelompok informal dimasyarakat seperti; kelompok arisan, kelompok usaha bersama, kelompok keagamaan; (c). Pengelompokan masyarakat lainnya sesuai kondisi setempat.
Untuk efektifitas, maka kegiatan penggalian gagasan dilakukan dengan memanfaatkan pertemuan rutin kelompok yang sudah ada (formal maupun informal).

Hasil yang diharapkan dari pertemuan penggalian gagasan adalah:
+ Dipahaminya hal-hal pokok tentang PNPM-PPK meliputi; tujuan, prinsip, ketentuan dasar dan alur kegiatan PNPM-PPK yang akan dilakukan.
+ Analisis permasalahan dan penyebab kemiskinan RTM
+ Gagasan-gagasan kegiatan maupun visi ke depan dari masyarakat untuk mengatasi permasalahan dan penyebab kemiskinan

* 3.1.5. Musyawarah Desa Khusus Perempuan

Musyawarah desa khusus perempuan dihadiri oleh kaum perempuan dan dilakukan dalam rangka membahas gagasan-gagasan dari kelompok-kelompok perempuan dan menetapkan usulan kegiatan yang merupakan aspirasi khusus dari kelompok perempuan. Usulan yang disampaikan perlu mempertimbangkan hasil penggalian gagasan yang telah dilakukan sebelumnya. Usulan hasil musyawarah tersebut selanjutnya dilaporkan ke forum musyawarah desa penetapan usulan untuk disyahkan sebagai bagian dari usulan desa.
Hasil yang diharapkan melalui pertemuan ini adalah :
o Ditetapkannya usulan kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan, jika ada gagasan yang diusulkan.
o Ditetapkannya usulan yang merupakan aspirasi perempuan selain usulan kegiatan simpan pinjam,
o Terpilihnya calon-calon wakil perempuan yang akan hadir di musyawarah antar desa kedua

* 3.1.6. Musyawarah Desa (Musdes) Perencanaan

Musyawarah desa penetapan usulan merupakan forum pertemuan masyarakat tingkat desa yang bertujuan untuk membahas seluruh gagasan kegiatan, hasil dari proses penggalian gagasan ditingkat kelompok dan tingkat dusun.
Hasil yang diharapkan dari Musdes Perencanaan adalah :
o Tersusunnya visi dan misi desa yang berasal dari musyawarah penggalian gagasan.
o Tersusunnya Rencana Pembangunan Tahunan Desa (RPTDes) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes)
o Ditetapkannya satu usulan kegiatan sarana prasarana dasar atau kegiatan peningkatan kualitas hidup masyarakat (kesehatan atau pendidikan).
o Disahkannya usulan kegiatan hasil keputusan musyawarah khusus perempuan, terdiri dari:
o Usulan kegiatan sarana prasarana dasar atau kegiatan peningkatan kualitas hidup masyarakat (kesehatan atau pendidikan)
o Usulan kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan, jika ada.
o Ditetapkannya usulan-usulan kegiatan yang akan diajukan pendanaanya melalui sumber dana lainnya (swadaya, pendapatan desa, APBD Kabupaten / ADD dan lain-lain).
o Terpilih dan ditetapkannya Tim Penulis Usulan,
o Terpilihnya minimal satu orang yang akan diusulkan menjadi calon pengurus UPK dan calon pengamat pada musyawarah antar desa prioritas usulan
o Terpilihnya wakil-wakil desa yang akan hadir dalam musyawarah antar desa prioritas usulan terdiri dari 6 orang meliputi; kepala desa, ketua TPK, dan 4 orang wakil masyarakat. Minimal 3 dari 6 wakil tersebut adalah perempuan.

Peserta dari musdes perencanaan meliputi:Kepala desa dan aparat desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa, tokoh masyarakat di desa, serta sebanyak mungkin anggota masyarakat desa lainnya yang berminat untuk hadir. Proses ini difasilitasi oleh kader desa dan/ atau FK, dengan pendanaan dari swadaya desa atau masyarakat

* 3.1.7. Penulisan Usulan Desa

Penulisan usulan merupakan kegiatan untuk menguraikan secara tertulis gagasan-gagasan kegiatan masyarakat yang sudah disetujui sebagai usulan desa yang akan diajukan pada musyawarah antar desa. Proses ini dilakukan oleh Tim Penulis Usulan yang telah dipilih dalam forum musyawarah desa perencanaan. Sebelum melakukan penulisan, TPU akan mendapatkan pelatihan atau penjelasan terlebih dahulu dari FK dan/atau Fasilitator Teknik.

Hasil yang diharapkan dari proses penulisan usulan adalah dokumen proposal usulan kegiatan desa yang telah disetujui dalam musyawarah desa perencanaan dan musyawarah desa khusus perempuan, termasuk data dan isian formulir pendukungnya.

Proposal kegiatan yang diajukan sudah disertai dengan rencana pelaksanaan atau detail desain dan RAB (Rencana Anggaran Biaya). Langkah berikutnya sebagaimana berikut:
o a. Pembuatan Rencana Pelaksanaan Kegiatan/ Desain dan RAB

Tim Penulis Usulan bersama Kader Teknis dengan dibimbing oleh Fasilitator Kecamatan dan Fasilitator Teknik akan melakukan survey dan pengukuran lokasi serta survey harga material. Bila TPU dan Kader sudah mampu, selanjutnya berdasarkan atas hasil survey dibuatkan desain, gambar teknis (usulan prasarana) atau rencana pelaksanaan kegiatan dan RAB-nya. Proses pembuatan desain dan RAB dengan tetap mengacu kepada spesifikasi teknis sehingga terjamin mutu kegiatannya.

o b. Pemeriksaan Desain dan RAB

Setiap desain serta gambar teknis prasarana yang telah selesai dibuat harus diperiksa dan/ atau diisertifikasi oleh Fasilitator Teknik, terutama jika desain usulannya tidak besar dan sederhana. Khusus untuk desain prasarana dengan nilai besar dan/atau dengan tingkat kerumitannnya tinggi harus mendapatkan sertifikasi dari KMT.

Khusus untuk usulan kegiatan prasarana termasuk rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana pengadaan bahan yang diajukan, harus memenuhi beberapa kriteria teknis dan aspek lingkungan sebagai berikut :
+ Komponen RAB yang menyertakan dana swadaya dilampiri dengan surat pernyataan kesanggupan memberikan swadaya senilai yang tercantum dalam RAB.
+ Kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan standar lingkungan dan kelayakan teknis serta meminimalkan ganti rugi lahan serta menghindari penggusuran penduduk;
+ Apabila diberikan ganti rugi, maka prosesnya harus mengikuti standar kompensasi yang sesuai dan cukup memuaskan bagi penduduk yang digusur. Namun untuk biaya ganti rugi tidak dapat dialokasikan dari dana PNPM-PPK
+ Apabila total kerugian masyarakat diperkirakan mencapai 10% dari asset produktif dan atau kurang lebih 200 penduduk harus digusur, maka proses penggantian harus melalui prosedur yang disepakati sebelumnya. Sebelum pelaksanaan kegiatan dilakukan maka proses ganti rugi harus sudah diserah diterimakan;
+ Rencana pemeliharaan harus sudah dibuat mencakup tugas tim pemelihara, persiapan pelatihan, dan identifikasi sumber dana yang akan digunakan;
+ Setiap pelaksanaan kegiatan harus meminimalkan pengaruh buruk sosial ekonomi masyarakat sekitar;

o c. Sosialisasi Desain dan RAB

Sosialisasi desain dan RAB di desa bertujuan untuk menjelaskan kepada masyarakat terutama kelompok pengusul tentang pokok-pokok rencana yang telah disusun sesuai kaidah teknis dan sesuai dengan standar lingkungan. Sosialisasi dilakukan dalam forum musyawarah desa yang difasilitasi oleh Tim Penulis Usulan dibantu FK dan/ atau Fasilitator Teknik. Desain dan RAB ini juga harus ditempelkan pada papan-papan informasi yang telah disediakan.

* 3.1.8. Verifikasi Usulan

Verifikasi usulan merupakan tahap kegiatan yang bertujuan untuk memeriksa dan menilai kelayakan usulan kegiatan dari masing-masing desa yang akan didanai PNPM-PPK. Verifikasi usulan kegiatan dilakukan oleh Tim Verifikasi (TV) yang dibentuk di tingkat kecamatan dengan beranggotakan 5 - 10 orang yang memiliki keahlian sesuai usulan kegiatan. Sebelum menjalankan tugasnya TV akan mendapatkan pelatihan atau penjelasan terlebih dulu dari FK, Fasilitator Teknik atau KM Kab.
Tim Verifikasi akan menilai setiap usulan kegiatan untuk melihat kesesuaian usulan dengan kriteria penilaian usulan kegiatan yang meliputi:
o Lebih bermanfaat bagi RTM (30%)
o Berdampak langsung dalam pengurangan jumlah RTM (30%)
o Bisa dikerjakan oleh masyarakat (20%)
o Tingkat keberhasilan dan keberlanjutan cukup tinggi (10%)
o Didukung oleh sumber daya yang ada di masyarakat (10%)

Sebelum TV menyusun rekomendasi penilaian kelayakan usulan, FK dan FT melakukan pemeriksaan kembali terutama yang berkaitan dengan aspek teknis usulan kegiatan. Selanjutnya, TV membuat rekomendasi hasil penilaian disertai dengan catatan hasil pemeriksaan oleh FK atau FT. Rekomendasi TV akan menjadi dasar pembahasan dalam musyawarah antar desa kedua.

* 3.1.9. Musyawarah Antar Desa (MAD) Prioritas Usulan

Musyawarah antar desa prioritas usulan adalah forum di tingkat Kecamatan yang bertujuan membahas,dan menyusun prioritas atau peringkat usulan kegiatan. Penyusunan prioritas usulan kegiatan didasarkan atas kriteria usulan kegiatan sebagaimana yang digunakan oleh tim verifikasi dalam menilai usulan kegiatan.

Hasil yang diharapkan dari MAD Prioritas Usulan adalah:
o Disepakati cara memeriksa dan menilai usulan kegiatan yang diajukan desa.
o Ditetapkannya urutan atau peringkat usulan kegiatan sesuai skala prioritas kelayakan dan kebutuhan masyarakat.
o Dipilih dan ditetapkannya pengurus UPK (Ketua, Sekretaris, Bendahara).
o Laporan kemajuan penanganan masalah beserta rencana tindak lanjutnya.
o Disepakatinya sanksi-sanksi yang akan diterapkan selama pelaksanaan PNPM-PPK di tingkat kecamatan tersebut
o Ditetapkannya jadwal musyawarah desa ketiga dari masing-masing desa
o Disampaikannya keputusan desa-desa yang bersepakat untuk membentuk BKAD sekaligus deklarasi pembentukan BKAD. Setelah keputusan ini maka FK memfasilitasi penyusunan AD/ART BKAD secara partisipatif dengan melibatkan wakil-wakil desa.

Peserta MAD prioritas usulan meliputi: Camat dan staf terkait, Instansi dinas terkait tingkat kecamatan, Tim Pengamat, Enam orang wakil per desa: Kepala desa, Ketua Tim Pelaksana, dan 4 orang wakil masyarakat (tiga diantaranya harus perempuan dan wakil RTM), calon pengurus UPK, serta anggota masyarakat lainnya yang berminat untuk hadir. Pendanaan kegiatan ini berasal dari stimulan DOK dan swadaya kecamatan.

* 3.1.10. Musyawarah Antar Desa (MAD) Penetapan Usulan

Musyawarah antar desa penetapan usulan merupakan forum untuk mengambil keputusan terhadap usulan yang akan didanai melalui PNPM-PPK. Keputusan pendanaan harus mengacu pada peringkat usulan yang telah dibuat pada saat musyawarah antar desa prioritas usulan. Jika pada saat musyawarah antar desa prioritas usulan, seluruh usulan atau proposal telah selesai dibuat berikut detail desain dan RABnya, maka keputusan penetapan usulan yang akan dibiayai melalui PNPM-PPK bisa langsung diselenggarkan setelah agenda musyawarah antar desa prioritas usulan diselesaikan. Namun jika belum selesai desain dan RABnya, maka musyawarah antar desa penetapan usulan dilakukan pada waktu yang berbeda. Dalam MAD ini juga ditetapkan rancangan AD-ART BKAD menjadi ketetapan AD/ART BKAD. Penyusunan AD-ART BKAD ini sendiri dilakukan setelah MAD prioritas usulan.

* 3.1.11. Musyawarah Desa (Musdes) Informasi Hasil MAD

Musyawarah desa ini merupakan forum sosialisasi atau penyebarluasan hasil penetapan alokasi dana PNPM-PPK yang diputuskan dalam musyawarah antar desa penetapan usulan. Forum ini dilaksanakan baik desa yang mendapatkan dana maupun yang tidak.

Khusus bagi desa-desa yang mendapatkan dana PNPM-PPK, dalam musyawarah desa ketiga juga diharapkan hasil-hasil sebagai berikut:
o Terpilih dan ditetapkannya susunan lengkap Tim Pengelola Kegiatan (TPK), yaitu ketua-ketua bidang sesuai dengan jenis kegiatan yang didanai
o Disepakatinya jadwal pelaksanaan tiap kegiatan yang akan dilaksanakan.
o Disepakatinya sanksi-sanksi yang akan diberlakukan selama pelaksanaan PNPM-PPK di desa tersebut.
o Disepakatinya realisasi sumbangan atau kontribusi masyarakat.
o Disepakatinya besar insentif bagi pekerja dan tata cara pembayarannya.
o Dipahaminya mekanisme pengadaan bahan dan alat.
o Terbentuknya Tim Khusus yang akan memantau pelaksanaan PNPM-PPK
o Tersosialisasikannnya pembentukan BKAD beserta AD/ART yang telah ditetapkan pada MAD penetapan usulan.
o Penyampaian kemajuan penanganan masalah dan rencana tindak lanjutnya.

* 3.1.12. Pengesahan Alokasi Bantuan oleh Camat

Hasil dari keputusan musyawarah antar desa penetapan usulan disahkan oleh Camat atas nama Bupati menjadi Surat Penetapan Camat (SPC) yang berisi tentang daftar alokasi bantuan PNPM-PPK di Kecamatan yang bersangkutan. Surat Penetapan Camat berikut lampirannya, mencantumkan nama desa, jenis kegiatan termasuk jumlah alokasi dananya, dikirimkan oleh PjOK kepada TK PNPM-PPK Kabupaten dengan tembusan kepada Bupati, FK dan KM-Kab.

* 3.1.13. Pengesahan Dokumen SPPB

Ketua TPK, PjOK dan Ketua UPK akan membuat Surat Perjanjian Pemberian Bantuan (SPPB), dan diketahui Kepala Desa dan Camat atas nama Bupati. Pengesahan SPPB dilakukan langsung segera sesudah diterbitkan Surat Penetapan Camat, dan tidak perlu menunggu persetujuan dari kabupaten.

Kelengkapan dokumen sebagai lampiran SPPB, terdiri dari :
o Proposal usulan kegiatan
o RAB detail per kegiatan
o Jadwal pelaksanaan;
o Ceklis Masalah Dampak Lingkungan;
o Komitmen sumbangan dari masyarakat;
o Foto 0 % dari kegiatan yang akan dibangun/ dikerjakan.

3.2. Pelaksanaan Kegiatan

Untuk menjamin kualitas pelaksanaan kegiatan yang tetap mengacu pada prinsip dan azas PNPM-PPK, maka perlu adanya persiapan yang matang dan terencana. Persiapan ini lebih ditujukan kepada penyiapan aspek sumber daya manusia, seperti: masyarakat, Tim Pengelola Kegiatan dan seluruh pelaku PNPM-PPK lainnya. Karena itu, TPK perlu mendapatkan pelatihan terlebih dahulu sebelum melaksanakan kegiatan yang didanai PNPM-PPK.
o 3.2.1. Persiapan
+ a. Rapat Koordinasi Awal di Kecamatan

Rapat koordinasi ini difasilitasi oleh pendamping lokal, FK dan PjOK. Rapat dihadiri oleh pengurus UPK, Kepala desa dan TPK masing-masing desa penerima dana PNPM-PPK. Waktu penyelenggaraan rapat, diharapkan tidak lebih dari satu minggu setelah pelaksanaan pelatihan bagi TPK dan UPK.
Hasil yang diharapkan:
# Disepakati mekanisme koordinasi dan rapat-rapat lain selama periode pelaksanaan.
# Penyamaan persepsi dan langkah dari seluruh unsur yang ada di kecamatan terhadap pelaksanaan program, termasuk dalam hal evaluasi dan pelaporan.
# Terjadi tukar pendapat dan pemberian saran antar desa terhadap rencana masing-masing desa.
# Dibahas dan disepakati tentang mekanisme penyelesaian kendala dan masalah yang muncul.

+ b. Rapat Persiapan Pelaksanaan di Desa

Pengurus TPK bersama kepala desa secepatnya mengadakan rapat pra-pelaksanaan di desa sebelum memulai pelaksanaan kegiatan. Rapat persiapan di desa difasilitasi oleh Kader-kader desa. Hasil rapat pra-pelaksanaan menjadi acuan langkah kerja selanjutnya.
Hasil yang diharapkan :
# Dibahas dan disepakati tentang peran, fungsi dan pembagian tugas tiap pengurus TPK dalam pelaksanaan PNPM-PPK di desa.
# Menyusun rencana kerja detail termasuk penjadwalannya, seperti: rencana rekrutmen tenaga kerja, pengadaan bahan dan alat dll.
# Disepakati jadwal, tata cara dan sanksi-sanksi pertemuan rutin mingguan atau bulanan TPK untuk evaluasi pelaksanaan.
o 3.2.2. Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan adalah tahap pelaksanaan seluruh rencana yang telah disepakati dalam pertemuan musyawarah antar desa penatapan usulan dan musyawarah desa informasi hasil MAD serta rapat-rapat persiapan pelaksanaan.
Dalam pelaksanaan kegiatan ini perlu diperhatikan hal-hal penting sebagai berikut:
+ Masyarakat merupakan pemilik kegiatan, sehingga keputusan pelaksanaan dan tanggungjawab ada pada masyarakat.
+ Masyarakat desa mendapat prioritas untuk turut bekerja dalam pelaksanaan kegiatan terutama bagi penduduk miskin
+ Bila ada bagian pekerjaan yang belum mampu dikerjakan oleh masyarakat sendiri, masyarakat dapat mendatangkan tenaga trampil atau ahli dari luar sepanjang disepakati dalam musyawarah desa, dan kebutuhan ini sudah dimasukkan dalam usulan kegiatan
+ Penggunaan dana sesuai dengan rencana dan kegiatan agar mencapai hasil yang memuaskan serta selesai tepat waktu

+ a. Pencairan Dana

Untuk pencairan dana bantuan PNPM-PPK, mengikuti proses dan prosedur yang diatur dalam Surat Edaran Direktorat Jendral Perbendaharaan, Departemen Keuangan.

+ b. Pengadaan Tenaga Kerja

TPK mengumumkan adanya rencana pelaksanaan kegiatan kepada masyarakat dan kebutuhan tenaga kerjanya, serta upah dan hari kerja yang dibutuhkan sesuai RAB dan desain teknisnya. Pengumuman kebutuhan tenaga kerja ini terbuka bagi warga desa termasuk bagi kaum perempuan dan diutamakan bagi kelompok miskin. Pengumuman ditempel disetiap sudut desa dimana masyarakat biasa berkumpul, sehingga setiap warga masyarakat tahu bahwa ada pembangunan didesanya.

+ c. Pengadaan Bahan dan Alat

Proses pengadaan bahan dan alat harus dilaksanakan secara transparan dan tetap menggunakan bahan serta alat sesuai spesifikasi yang telah dicantumkan dalam desain teknis dan RAB. Prosedur pengadaan bahan dan alat sebagaimana dalam penjelasan tambahan PTO tentang kegiatan prasarana.

+ d. Rapat Evaluasi Tim Pengelola Kegiatan

Rapat evaluasi dapat dilaksanakan setiap minggu atau bulan, dimaksudkan untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan selama satu minggu / bulan berjalan serta membuat rencana kerja untuk periode berikutnya.
Hasil yang diharapkan:
# Kesimpulan tentang pencapaian target pekerjaan dari yang sudah direncanakan sebelumnya.
# Menyusun rencana kerja detail termasuk penjadwalannya untuk periode berikutnya.
# Pembahasan tentang kendala dan masalah yang timbul serta mencari penyelesaian atau tindak lanjut yang diperlukan.
# Evaluasi kinerja dari masing-masin pengurus TPK
# Menyusun realisasi penggunaan dana

o 3.2.3. Musyawarah Desa Pertanggungjawaban

Untuk mewujudkan transparansi dalam proses pelaksanaan PNPM-PPK, TPK wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara bertahap kepada masyarakat. Musyawarah pertanggungjawaban minimal dilakukan dua kali yaitu setelah memanfaatkan dana PNPM-PPK tahap pertama dan tahap kedua. Sebelum diadakan musyawarah desa pertanggungjawaban, TPK sudah harus menyelesaikan Laporan Pertanggungjawaban Dana (LPD) pencairan dana ke I atau ke II. Sebelum pertemuan musyawarah desa pertanggungjawaban, laporan pertanggungjawaban dana secara tertulis harus sudah ditempel dipapan informasi dan disebarluaskan kepada masyarakat desa.
Hasil yang diharapkan dari musdes pertanggungjawaban adalah:
+ Penyampaian laporan dari TPK tentang: penerimaan dan penggunaan dana, status atau kemajuan dari tiap kegiatan, tingkat partisipasi dan keterlibatan perempuan.
+ Pernyataan diterima atau ditolaknya laporan pertanggungjawaban dari TPK, berdasarkan hasil voting tertutup dari seluruh peserta pertemuan.
+ Evaluasi terhadap kinerja dari TPK serta upaya peningkatan pada periode selanjutnya.
+ Kesepakatan tentang penyelesaian masalah atau keluhan yang timbul di masyarakat.
+ Pembuatan rencana kerja dan pendanaan untuk periode berikutnya
+ Penyampaian kemajuan penanganan masalah dan rencana tindak lanjutnya.

o 3.2.4. Sertifikasi

Sertifikasi adalah penerimaan hasil pekerjaan berdasarkan spesifikasi teknis oleh FK dan/ atau Fasilitator Teknik untuk mendorong peningkatan kualitas pekerjaan atau kegiatan. Dengan dilakukan sertifikasi, diharapkan fokus Tim Pengelola Kegiatan dialihkan dari “mengejar target fisik” menjadi “mengejar target kualitas”

Tiap jenis pekerjaan dinilai, tetapi untuk pekerjaan yang rumit dapat digabungkan. Pekerjaan yang dinilai oleh FK/ Fasilitator Teknik telah sesuai untuk dibayar dapat langsung dilunasi, tetapi pekerjaan yang kurang baik harus diperbaiki dulu. Kemajuan pekerjaan (progres) yang dilaporkan didasarkan pekerjaan yang sudah selesai dan dinilai layak untuk dibayar.

Untuk sertifikasi penerimaan bahan, disebutkan lokasi bahan tersebut akan digunakan, walaupun mungkin belum dipasang atau dihampar. Kemudian, FK akan menilai kelayakannya. Yang layak ditulis “dapat diterima” dan yang belum layak disebut alasannya. Dokumen tersebut disimpan di arsip Tim Pengelola Kegiatan sebagai bukti bahwa bagian tersebut atau bahan tersebut telah diterima dengan baik oleh FK.

Hasil sertifikasi ditempelkan pada papan informasi agar seluruh masyarakat tahu hasil penilaian dan tahu kemajuan hasil kegiatan. Perhatian masyarakat ditarik ke masalah target kualitas.

Penggunaan langkah sertifikasi ini tidak dimaksudkan untuk memperlambat pembayaran kepada Tim Pengelola Kegiatan. FK boleh menunda penilaian jika tidak sempat menilai pekerjaan dan menyetujui pembayaran tanpa dinilai apabila Tim Pengelola Kegiatan telah terbukti mampu mengerjakan tugas serupa. Sebaliknya, jika kualitas bagian yang diusulkan Tim Pengelola Kegiatan untuk pembayaran sering tidak sesuai persyaratan, langkah ini tidak boleh ditinggalkan.

o 3.2.5. Revisi Kegiatan

Apabila dalam pelaksanaan diperlukan perubahan oleh sebab kekeliruan di lapangan atau terjadinya bencana alam, maka bisa dilakukan revisi selama tidak menambah besarnya dana bantuan. Revisi tersebut dibuat oleh Tim Pengelola Kegiatan dan disetujui oleh PJOK, Ketua TPK, dan FK dan secara terbuka ada pemberitahuan kepada masyarakat. Pendataan perubahan tersebut harus segera dituangkan dalam Berita Acara Revisi. Proses pembuatan Berita Acara Revisi tidak boleh ditunda-tunda.

Di samping itu KM-Kab dapat menyarankan perubahan jika berdasarkan pertimbangan teknis hasil kunjungan lapangan dipastikan kegiatan ada kemungkinan tidak berhasil atau mengalami kegagalan. Namun demikian pertimbangan teknis harus disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. KM-Kab dalam pemeriksaannya harus memastikan bahwa seluruh perubahan telah dituangkan dalam Berita Acara Revisi. Setiap bentuk perubahan baik terhadap target, desain, spesifikasi, dan lain-lain dianggap tidak syah bila tidak dilengkapi dengan Berita Acara Revisi. Perubahan tanpa adanya Berita Acara Revisi merupakan kelalaian atau pelanggaran.

Beberapa prinsip dari revisi PNPM-PPK, antara lain :
+ Jumlah alokasi bantuan perdesa tetap (tidak bisa dirubah), meskipun terdapat revisi pada kegiatan. Revisi kegiatan yang relatif kecil (kira-kira 15%) dari volume atau dana kegiatan harus mendapat persetujuan dari musyawarah desa dan yang relatif sedang (kira-kira antara 15% s/d 25 %) melalui musyawarah antar desa. Perubahan yang relatif besar (kira-kira di atas 25%) dari volume atau dana kegiatan bisa mengakibatkan pembatalan kegiatan. Penentuan kategori besar kecilnya perubahan atau revisi kegiatan berdasarkan atas masukkan dari Fasilitator atau Konsultan. Hal ini berlaku untuk kegiatan diluar force majeure (misalnya terjadi bencana alam).
+ Alokasi dana tiap kegiatan, kecuali Biaya Umum, tidak boleh dialihkan (misal : alokasi dana simpan pinjam sebagaian dialihkan ke kegiatan prasarana).
+ Kedua prinsip di atas tidak berlaku pada kasus khusus dimana dana bantuan tidak terserap 100 % dan harus dikembalikan ke Kas Negara.
+ Tidak boleh memindahkan lokasi kegiatan ke desa lain.
+ Jika ada kegiatan yang batal atau terdapat perubahan besar-besaran maka perlu dilakukan pengulangan sebagian proses seperlunya, MAD pengalokasian dana kembali, dan penerbitan SPC baru agar supaya semua alokasi BLM dapat dimanfaatkan. Pada prinsipnya, jika ada kegiatan yang dibatalkan maka prioritas kegiatan yang didanai adalah ranking berikutnya hasil MAD perangkingan.

o 3.2.6. Penggantian Pengurus TPK

Pengurus TPK lainnya dimungkinkan untuk diganti dengan orang lain apabila yang bersangkutan dinilai tidak mampu atau lalai melaksanakan tugasnya. Penggantian TPK dilakukan melalui musyawarah desa.

o 3.2.7. Dokumentasi Kegiatan

Dokumentasi foto seluruh kegiatan dari PNPM-PPK sebagian besar menjadi tanggungjawab Fasilitator Kecamatan/ Fasilitator Teknik, meskipun demikian untuk kepentingan arsip desa, maka Tim Pengelola Kegiatan juga perlu membuat foto-foto sendiri.

Pada akhir periode pelaksanaan PNPM-PPK, Fasilitator Kecamatan/ Fasilitator Teknik harus memastikan adanya dokumentasi foto yang disusun dalam satu album khusus, dengan ketentuan :
+ Foto-foto yang ditampilkan merupakan foto PNPM-PPK di Kecamatan yang bersangkutan. Bukan kumpulan foto dari setiap desa penerima PNPM-PPK, namun sudah merupakan hasil seleksi dari semua arsip foto yang ada. Tetapi tidak boleh hanya foto dari satu desa saja.
+ Setiap foto perlu diberikan catatan atau keterangan ringkas.
+ Foto yang ditampilkan meliputi :
# Foto kondisi 0 %, 50 %, 100 % yang diambil dari sudut pengambilan yang sama.
# Foto yang memperlihatkan orang sedang bekerja secara beramai-ramai.
# Foto yang memperlihatkan peran serta perempuan dalam kegiatan prasarana.
# Foto yang memperlihatkan pembayaran secara langsung kepada masyarakat.

o 3.2.8. Penyelesaian Kegiatan

Penyelesaian kegiatan yang dimaksud disini adalah penyelesaian dari tiap jenis kegiatan yang telah dilaksanakan sebagai bagian dari pertanggungjawaban TPK di desa. Terdapat beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dan diselesaikan pada proses ini, meliputi:
+ a. Pembuatan laporan penyelesaian pelaksanaan kegiatan

Laporan penyelesaian pelaksanaan kegiatan (LP2K) adalah laporan yang ditandatangani oleh ketua TPK dan FK untuk menyatakan bahwa seluruh jenis kegiatan telah selesai dilaksanakan (kondisi 100%) serta siap diperiksa oleh PjOK. Terkecuali untuk kegiatan UEP, dan SP yang dananya ada pada masyarakat, maka pelaporannya hanya sampai dengan tanggal dibuatnya laporan. Pada saat LP2K ditandatangani seluruh administrasi baik pertanggungjawaban dana maupun jenis administrasi lainnya sudah dilengkapi dan dituntaskan, termasuk realisasi kegiatan dan biaya (RAB). Lembar LP2K yang sudah ditandatangani diserahkan pada PjOK dengan tembusan kepada KM, untuk mendapatkan tindak lanjut berupa pemeriksaan di lapangan. Kegiatan prasarana yang telah selesai dibangun, harus disertifikasi oleh KM Kab untuk melihat kesesuaian dengan design awal dan/ atau revisi yang telah disetujui.

+ b. Pembuatan Realisasi Kegiatan dan Biaya

Untuk kejelasan tentang apa saja yang telah dilaksanakan di lapangan serta penggunaan dana bantuan PNPM-PPK di desa, TPK bersama kader desa yang dibantu oleh FK/ Fasilitator Teknik harus membuat rincian realisasi kegiatan dan biaya berikut rekapitulasinya. Didalam relisasi kegiatan dan biaya harus dibuat secara terpisah antara masing-masing kegiatan. Realisasi Kegiatan dan Biaya (RKB) harus dibuat sesuai dengan kondisi terlaksana di lapangan dan menunjukkan target akhir dari pelaksanaan PNPM-PPK di desa. Harga-harga satuan, volume, jumlah HOK terserap, besar dan distribusi dana dari setiap kegiatan diluar prasarana seluruhnya harus berdasar kepada kondisi aktual di lapangan dan sesuai dengan catatan yang ada pada buku kas umum. Harus dihindari sikap yang hanya menyalin atau menulis ulang RAB awal tanpa melihat realisasi yang sedang terjadi di lapangan. Pada prinsipnya pembuatan RKB hanyalah merekap atau merangkum seluruh catatan penggunaan dana dan pelaksanaan kegiatan yang dibuat selama pelaksanaan. Jika terdapat konstribusi swadaya masyarakat selama periode pelaksanaan, perlu dicantumkan dalam RKB.

RKB merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari LP2K, sehingga harus sudah dapat diselesaikan sebelum LP2K ditandatangani. RKB juga akan banyak manfaatnya untuk menjelaskan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada saat pemeriksaan atau audit. Pada kegiatan pembangunan prasarana perincian volume dan biaya yang tercantum pada format RKB harus sesuai dan berkaitan erat dengan gambar-gambar purna laksana yang juga merupakan lampiran dalam dokumen penyelesaian. Gambar-gambar yang dilampirkan dalam dokumen penyelasaian yaitu denah atau lay out, peta situasi, detai konstruksi dan lain-lain yang juga bagian adari RKB, harus dibuat sesuai dengan kondisi yang ada atau terlakasana di lapangan. Harus dihindari melampirakan gambar-gambar disain dalam dokumen penyelesaian tanpa menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Jika terjadi perubahan di lapangan, disamping dilakukan perubahan pada gambar juga harus dituangkan dalam berita acara revisi.

+ c. Musyawarah Desa Serah Terima

Musyawarah ini dilakukan untuk pertanggungjawaban atas pengelolaan dana dan kegiatan oleh TPK kepada masyarakat setelah pekerjaan/ kegiatan diselesaikan. Selain itu, tujuan musyawarah ini adalah agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari serta hasil kegiatan dapat diketahui dan diterima oleh masyarakat. PjOK maupun FK memfasilitasi Tim Pengelola Kegiatan untuk mengadakan suatu pertemuan atau musyawarah dengan mengahadirkan sebanyak mungkin masyarakat untuk penyampaian pertanggungjawaban akhir dari pelaksanaan kegiatan. Surat Pernyataan Penyelesaian Pelaksanaan Kegiatan (SP3K) disahkan setelah masyarakat menerima hasil pekerjaan/ kegiatan dalam musyawarah desa tersebut.
Hasil yang diharapkan :
# Penjelasan kepada masyarakat bahwa setelah surat pernyataan penyelesaian pelaksanaan kegiatan (SP3K) disahkan maka berakhir sudah tanggungjawab TPK terhadap kegiatan di lapangan,
# Laporan hasil pelaksanaan dari masing-masing jenis kegiatan, termasuk pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan penggunaan dana
# Hasil evaluasi terhadap pekerjaan, kinerja TPK dan penggunaan dana
# Serah terima hasil pekerjaan kepada masyarakat agar dapat dimanfaatkan dan dilestarikan, serta ditetapkannya Tim Operasional dan Pemeliharaan,
# Ditetapkannya rencana pemeliharaan terhadap kegiatan yang telah diserahterimakan, mencakup tugas tim pemelihara, persiapan pelatihan, dan identifikasi sumber dana yang akan digunakan;
# Penyampaian kemajuan dan evaluasi penanganan masalah serta rencana tindak lanjutnya.

+ d. Pembuatan Surat Pernyataan Penyelesaian Pelaksanaan Kegiatan

Secara resmi pelaksanaan PNPM-PPK di desa dinyatakan selesai jika telah diserahterimakan kepada masyarakat dalam forum musyawarah dan setelah ditandatangani SP3K oleh Ketua TPK dan PjOK serta diketahui Kepala Desa dan Camat atas nama Bupati. Kegiatan tambahan atau lanjutan yang bersumber dana dari luar PNPM-PPK baru dapat dimulai setelah diterbitkan SP3K, misalnya : pengaspalan seluruh ruas jalan melalui dana APBD, pemasangan dinding pasangan batu oleh pengairan pada saluran irigasi, tambahan modal dari Bank terhadap kegiatan simpan pinjam dan lain-lain. Seluruh kegiatan lanjutan yang dilaksanakan setelah diterbitkannya SP3K bukan lagi menjadi tanggung jawab dari Tim Pengelola Kegiatan PNPM-PPK. PjOK harus memastikan bahwa kegiatan yang diserahterimakan atau yang tercantum dalam SP3K benar-benar telah memenuhi syarat, sesuai dengan RKB, gambar-gambar purna laksana sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan, catatan-catatan tentang kegiatan yang sesuai dengan fakta di masyarakat.

Jika dalam pemeriksaan di lapangan ditemui adanya kekurangan dalam pelaksanaan termasuk dalam hal administrasi maka PjOK dapat memberikan kesempatan waktu kepada Tim Pengelola Kegiatan untuk melakukan perbaikan terlebih dahulu. Baru kemudian SP3K dapat ditandatangani. Termasuk syarat dalam pengesahan SP3K adalah pekerjaan dapat diterima masyarakat dan Tim Pengelola Kegiatan harus sudah membuat dan merumuskan bersama masyarakat mengenai rencana pelestarian.

+ d. Pembuatan Dokumen Penyelesaian

Dokumen penyelesaian merupakan satu buku yang secara garis besar berisi tentang Surat Pernyataan Penyelesaian Pelaksanaan Kegiatan(SP3K), Laporan Penyelesaian Pelaksanaan Kegiatan (LP2K), rincian realisasi penggunaan biaya dan lampiran pendukung lainnya. Dokumen tersebut harus sudah dapat diselesaikan oleh TPK bersama FK dan kader teknis desa untuk didistribusikan oleh PjOK selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal ditandatanganinya LP2K. Jika sampai batas waktu tersebut Dokumen penyelesaian belum bisa dituntaskan maka Ketua TPK, FK dan PjOK harus membuat Berita Acara keterlambatan dan Kesanggupan penyelesiannya untuk disampaikan kepada TK-PNPM-PPK Kabupaten dan KM-Kab.
Pendistribusian dari dokumen penyelesaian ini dilaksanakan oleh PjOK dibantu oleh FK. Biaya pembuatan dari dokumen penyelesaian seluruhnya dimasukan pada Biaya Umum dari Alokasi dana PNPM-PPK di desa, sehingga sejak tahap perencanaan sudah dialokasikan besarnya biaya ini secara wajar.

+ e. Pembuatan Berita Acara Status Pelaksanaan Kegiatan (pada kondisi khusus)

Apabila sampai batas waktu penyelesaian ternyata kegiatan pembangunan prasarana belum dapat diselesaikan, atau dana belum disalurkan seluruhnya, maka Ketua TPK dan FK dengan diketahui oleh Kepala Desa membuat Berita Acara Status Pelaksanaan Kegiatan (BASPK) sebagai pengganti LP2K. BASPK menunjukkan kondisi hasil pelaksanaan kegiatan yang dicapai pada saat itu. Jika sudah dibuat BASPK maka tidak perlu lagi dibuat LP2K. SP3K tetap harus dibuat setelah seluruh kegiatan telah dituntaskan (100%) sebagi bukti selesainya pekerjaan. Lampiran yang harus dibuat jika muncul BASPK, sama dengan LP2K, yaitu realisasi kegiatan dan biaya hingga saat itu maupun gambar-gambar purna laksana hingga saat itu.

3.3. Pelestarian Kegiatan
Pengelolaan kegiatan PNPM-PPK harus dijamin dapat memberi manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan (sustainable). Disamping manfaat dari hasil kegiatan, maka aspek pemberdayaan, sistem dan proses perencanaan, aspek good governance, serta prinsip-prinsip PNPM-PPK harus mampu memberi dampak perubahan positif dan berkelanjutan bagi masyarakat. Untuk dapat mencapai hal itu maka semua pelaku PNPM-PPK harus mengetahui dan mampu memahami latar belakang, dasar pemikiran, prinsip-prinsip, kebijakan, prosedur dan mekanisme PNPM-PPK secara benar.
+ 3.3.1. Hasil Kegiatan

Hasil-hasil kegiatan PNPM-PPK yang berupa prasarana, simpan pinjam, kegiatan bidang pendidikan dan kesehatan merupakan aset bagi masyarakat yang harus dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan. Sebagaimana sanksi yang ditentukan dari pemerintah, bahwa jika hasil kegiatan tidak dikelola dengan baik seperti: tidak terpelihara atau bahkan tidak bermanfaat atau pengembalian macet maka desa atau kecamatan tidak akan mendapat lagi dana PNPM-PPK untuk tahun berikutnya.

+ 3.3.2. Proses Pelestarian

Pelestarian kegiatan merupakan tahapan paska pelaksanaan yang dikelola dan merupakan tanggungjawab masyarakat. Namun demikian dalam melakukan tahapan pelestarian, masyarakat tetap berdasarkan atas prinsip-prinsip PNPM-PPK.
Hasil yang diharapkan dari upaya pelestarian kegiatan adalah :
# Keberlanjutan proses dan penerapan prinsip-prinsip PNPM-PPK dalam pelaksanaan pembangunan secara partisipatif di masyarakat
# Menjamin berfungsinya secara berkelanjutan prasarana/ sarana yang telah dibangun, kegiatan yang menunjang kualitas hidup masyarakat bidang pendidikan – kesehatan, serta pengembangan kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan dengan kemampuan masyarakat sendiri.
# Menjamin kelanjutan sistem dan mekanisme pengelolaan dana masyarakat.
# Meningkatkan berfungsinya kelembagaan masyarakat di desa dan kecamatan dalam pengelolaan program.
# Menumbuhkan dan meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.

+ 3.3.3. Komponen Pendukung Pelestarian

Guna mendukung upaya pelestarian maka diperlukan beberapa komponen :
# Peningkatan kemampuan teknis dan manajerial yang harus dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat, Tim Pengelola Kegiatan, serta pelaku-pelaku lain PNPM-PPK di desa dan kecamatan.
# Penyediaan sistem dan mekanisme monitoring, evaluasi, perencanaan pengendalian secara partisipatif yang memungkinkan anggota masyarakat dapat mengetahui serta ikut mengontrol kegiatan yang direncanakan, sedang berjalan, maupun yang sudah selesai dilaksanakan.
# Penguatan lembaga-lembaga masyarakat di kecamatan dan desa, termasuk lembaga pengelola prasarana/ sarana.

Selama tahap pelestarian peran kader desa secara berkelanjutan sangat diharapkan, mengingat yang bersangkutan telah memperoleh alih pengetahuan dan ketrampilan dari fasilitator kecamatan.

+ 3.3.4. Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan PNPM-PPK diarahkan kepada adanya perawatan dan pengembangan berbagai sarana dan prasarana yang ada, sehingga dapat secara terus-menerus dimanfaatkan oleh masyarakat secara efektif dan efisien.
Untuk menjamin terjadinya pemeliharaan kegiatan yang harus dilakukan adalah:
# Rencana pemeliharaan harus sudah dimasukkan dalam proposal kegiatan. Tim Pemelihara segera dibentuk dan dilatih paling lambat setelah MAD Penetapan Usulan. Tim Pemelihara selanjutnya dilibatkan dalam memantau pekerjaan yang dilakukan oleh TPK.
# Untuk setiap jenis prasarana tertentu, telah dibuat daftar penanggung jawab dan penetapan iuran,
# Untuk jenis kegiatan lain, ditetapkan kelompok pengelola dan pemeliharaan.
# PJOK akan dilibatkan dalam rangka pemantauan pemeliharaan rutin.
# Pada dokumen penyelesaian harus sudah disediakan garis besar rencana pemeliharaan yang diwajibkan sebagai lampiran SP3K.

+ 3.3.5. Pelatihan Pemeliharaan

Fasilitator Kecamatan/ Fasilitator Teknik dibantu KM Kab wajib memberikan pelatihan kepada anggota Tim Pemeliharaan atau yang ditunjuk pada waktu pelaksanaan program hampir selesai. Dalam pelatihan tersebut, masyarakat diberi penjelasan mengenai kepentingan pemeliharaan, organisasi pengelola dan pemeliharaan, dan teknik-teknik yang digunakan seperti: teknik membuat inventarisasi masalah dan teknik memperbaikinya. Disamping itu akan dilakukan praktek di lapangan agar materi pelatihan lebih dapat dipahami.

Ini Dia Alasan Pengumuman CPNS Bidan PTT Belum Keluar

‎ Mungkin kebanyakan dari para Bidan PTT yang sudah mengikuti ujian kompetensi dasar TKD pada ujian seleksi CPNS dari Dokter gigi PTT...